Rabu, 27 Mei 2015

SISTEM BAWON PADA PERTANIAN PADI DI DESA PATEMON, KECAMATAN NGADIREJO KABUPATEN TEMANGGUNG



Masyarakat di Desa Patemon, Kecamatan Ngadirejo adalah masyarakat yang bermatapencaharian utama sebagai petani. Didukung dengan letak geografis yang berada di kaki gunung Sindoro. Desa Patemon ini bisa dibilang berada di dataran tinggi karena letaknya yang berada di kaki gunung. Setiap panen padi tiba, masyarakat yang memiliki lahan pertanian sendiri mulai mempersiapkan hal-hal yang bersangkutan dengan panen padi. Mulai dari alat-alat pertanian, modal, dan tenaga kerja. Sistem pertanian di Desa Patemon sendiri tidak melulu memfokuskan komoditas padi saja, jika mulai musim tembakau petani mengganti tanaman disawah dengan tanaman tembakau, mereka juga menanam cabe, terong, dan sayur-mayur.
Koentjaraningrat mengatakan dalam suatu masyarakat desa menjadi persekutuan hidup dan kesatuan sosial didasarkan pada prinsip hubungan kekerabatan (genealogs) dan hubungan tempat tinggal dekat (teritoria). Begitu juga dengan pola hubungan antara buruh tani dengan pemilik lahan, buruh  tani akan diundang untuk melakukan proses produksi pertanian padi sawah yang rumahnya berdekatan maupun masih memiliki hubungan kekerabatan. Pemilik lahan  biasanya mendatangi kepala kelompok dan selanjutya kepala kelompok akan  memberitahukan kepada buruh tani yang lain yang masih dalam satu kelompok.
Pertanian adalah kegiatan memproduksi tanaman baik padi, palawija maupun tanaman lainnya di sebidang tanah/sawah yang memerlukan faktor produksi dalam proses penyelesaiannya. Faktor produksi Diantaranya adalah tenaga kerja, modal dan bahan baku
3.Tahapan Proses Produksi Pertanian Padi Sawah
a.       Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah dalam usahatani padi sawah pada umumnya dilakukan oleh tenaga kerja pria. Dalam pengolahan tanah tenaga kerja pria banyak digunakan, karena pada kegiatan pengolahan tanah ini diperlukan tenaga yang cukup besar sehingga kegiatan pengolahan tanah ini lebih didominasi oleh tenaga pria. Pengolahan tanah pada umumnya menggunakan peralatan pertanian bertenaga mesin yang disebut bajak tetapi masih ada yang menggunakan kerbau maupun sapi.
b.      Penyemaian
Penyemaian bibit adalah salah satu kegiatan dalam usahatani padi sawah yang meliputi kegiatan pembuatan tempat penyemaian, penyebaran bibit dan pencabutan bibit dari persemaian. Penggunaan tenaga wanita untuk kegiatan penyemaian biasa dilakukan karena pada kegiatan penyemaian ini memerlukan ketelitian
c.       Penanaman
dilakukan oleh tenaga kerja perempuan, karena dalam proses penanaman memerlukan ketelatenan dan kesabaran.
d.      Penyiangan
Penyiangan adalah kegiatan yang dilakukan untuk membuang atau memisahkan tanaman pengganggu dari tanaman padi sawah. Tenaga kerja wanita lebih besar digunakan dalam kegiatan penyiangan karena pada kegiatan penyiangan memerlukan ketekunan dan ketelitian sehingga  kebiasaan masyarakat pada umumnya menggunakan tenaga kerja wanita
e.       Pemanenan
Pemanenan adalah kegiatan pengambilan hasil usaha tani padi sawah. Kegiatan ini diawali dengan pemotongan batang padi dengan menggunakan sabit setelah batang padi dipisahkan maka kegiatan berikutnya adalah perontokan dari tangkainya.Pada kegiatan panen laki-laki dan perempuan berpartisipasi dalam hal ini.
Memanen dilakukan dengan menggunakan ani-ani (semacam sabit tetapi bergerigi). Memanen memerlukan dua tahapan, yang pertama memotong tanaman yang kemudian dikumpulkan dalam satu tempat kemudian yang kedua adalah memisahkan bulir padi dari tangkainya yang disebut dengan nggeblok. Nggeblok adalah memukul tanaman berulang kali sampai bulir padi terpisah dari tangkainya dengan menggunakan alat yang disebut  jagrak. Jagrak terbuat dari papan dan bambu yang disusun menggunakan paku dan memiliki bentuk seperti huruf A.
Sistem Bawon
“Bawon” merupakan upah natura yang diberikan pemilik lahan kepada buruh tani, khususnya untuk kegiatan panen yang merupakan bagian tertentu dari hasil panen. Pada sistem bawon tradisional, panen padi merupakan aktivitas komunitas yang dapat diikuti oleh semua atau kebanyakan anggota komunitas dan menerima bagian tertentu dari hasil panen. Tradisi di beberapa tempat petani tidak dapat membatasi jumlah orang yang ikut memanen. Sistem tersebut merupakan bawon yang “benar-benar terbuka” dalam arti setiap orang diizinkan ikut memanen. Sistem “bawon terbuka” pada perkembangannya kemudian menjadi sistem panen yang hanya terbuka untuk orang satu desa yang sama. Sistem bawon yang lebih ketat adalah sistem bawon dengan peserta tertentu (yang diundang saja).
Sistem “Bawon” ini dilakukan di Desa Patemon sudah sejak jaman dahulu hingga menjadi tradisi atau budaya masyarakat setempat. Masyarakat menerapkan sistem “bawon” hanya ketika musim padi tiba. Seluruh masyarakat desa akan disibukkan dengan kegiatan pertanian ketika menjelang hingga setelah panen selesai. Sistem “bawon” ini terjadi antara pemilik lahan dan buruh tani yang bekerja mengolah lahan pertanian ketika musim padi tiba. Tidak diketahui asal-usul atau latar belakang dari penamaan atau istilah “bawon” dalam menyebut sistem resiprositas disini. Masyarakat setempat menirukan orang-orang terdahulu yang sudah terbiasa menggunakan istilah “bawon” dalam kegiatan pertanian di Desa Patemon.
Masyarakat yang tidak memiliki lahan pertanian sendiri, biasanya bekerja sebagai buruh tani dengan mengolah lahan pertanian milik orang lain. Mulai dari proses “nandur” hingga panen, menjadi pekerjaan buruh padi. Dalam kegiatan bertani di Desa Patemon ini, para buruh tidak mendapatkan upah atau “bayaran” berupa uang dari pemilik lahan, namun berupa hasil panen yang dipanen oleh buruh tadi. Inilah yang disebut sistem “Bawon” di Desa Patemon. Upah derep yang berujud “bawon” gabah ataupun bawon padi tersebut dihitung berdasarkan perbandingan hasil petikan padinya. Biasanya adalah satu berbanding enam sampai delapan). Artinya hail padi yang dipetik ditakar dulu, misalnya menggunakan baskom menakarnya, maka ketika hitungan sebanyak enam (ataupun delapan) baskom, maka yang memetik alias yang derep akan memperoleh jatah sebanyak satu baskom. Kebijakan enam ataupun delapan itu juga didasarkan pada jauh dekatnya yang memetik. Apabila yang memetik padi dahulunya juga diminta bantuan saat menanamnya, besar kemungkinan akan memperoleh porsi lebih bagus, yaitu enam berbanding satu, bukan delapan berbanding satu. Cara ini banya dipakai oleh para petani penggarap, yaitu petani yang hanya buruh dan harus setor hasil panen kepada sang pemilik sawah.
Namun kini di Desa Patemon ketentuan takaran disama ratakan menjadi 1:8. Satuan dari penghitungan hasil panen ini menggunakan piring plastik yang biasa digunakan untuk mengukur seberapa banyak panen ”gabah” yang didapat oleh buruh. Misalnya, seorang buruh dapat memperoleh 1 karung “gabah”, maka si pemilik lahan akan menghitung berapa banyak “gabah” yang akan didapat oleh seorang buruh dengan menakar “gabah” tadi menggunakan piring plastik. Setiap delapan piring “gabah” yang dipindahkan ke karung pemilik lahan, buruh akan mendapatkan satu piring “gabah” untuk dirinya sebagai upah dari pekerjaannya memanen. Namun dalam ada  beberapa syarat yang memang harus dipenuhi untuk melakukan sistem “Bawon” ini.  Ukuran jumlah pembagian takaran tersebut disepakati sesuai dengan banyak-sedikitnya perolehan yang didapat oleh buruh tani ketika ikut memanen. Apabila jumlah padi yang dipetik banyak, dia pun mendapatkan bagian yang banyak, dan begitu pula sebaliknya. Saat panenlah, banyak petani lain, termasuk mereka yang cuma buruh tani, ikut merasakan rejeki melalui sistem bawon (perhitungan hasil panenan antara pemilik dengan pemetik).
Petani yang butuh gabah tinggal ngarit padi yang tua, mengumpulkan batang-batang padi aritan dalam tumpukan sendiri-sendiri dan menggebuknya. Bila hasil aritan yang sudah digebuk diserahkan dalam bentuk gabah ke pemilik sawah, mereka akan mendapat bawon sebesar seperdelapan hasil gebukan. Dan kebersamaan serta perhitungan seperti inilah yang para petani takutkan akan hilang bila sistem gebuk diganti dengan menggunakan mesin perontok. Seseorang yang bisa melakukan sistem “Bawon” adalah seorang buruh yang ikut menanam atau “tandur”, dan ikut memanen atau “derep” yang dalam pekerjaannya meliputi memotong tanaman padi atau “mbabati” dan memisahkan butir padi dari tangkainya atau “nggebuk pari”.
Sistem “Bawon” ini memang tidak dapat diandalkan sebagai pekerjaan yang dapat menghasilkan uang guna memenuhi kebutuhan rumah tangga. Namun sistem “Bawon” dapat menjadi salah satu strategi pemenuhan kebutuhan pangan bagi keluarga, “gabah” yang diperoleh buruh dari hasil memanen lahan padi milik juragan bisa “diselep” atau giling menjadi beras, beras itulah yang nantinya menjadi makanan pokok sehari-hari keluarga buruh tadi. Ketika musim padi tiba, buruh tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli beras, karena “gabah” yang dipanen buruh tadi sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga hingga musim panen selesai. Meski sistem “Bawon” memiliki kelemahan yaitu tidak menghasilkan uang, padahal uang inilah yang menjadi pemicu seseorang bekerja, namun dalam sistem “Bawon” menciptakan nilai sosial dalam masyarakat.
Dengan perhitungan ini maka konsep bagi-bagi rejeki dalam sebuah panen tidak hilang. Sebaliknya petani yang mbawon kini justru lebih ringan karena mereka hanya ngarit sementara tugas gebuk gabah diganti dengan merontokkannya menggunakan mesin.
Dalam sistem “Bawon” dikenal juga sistem sambatan. Sistem sambatan diartikan sebagai sistem saling membantu bekerja secara bergiliran atau sistem hubungan pertukaran tenaga kerja . Istilah sambatan berasal dari  bahasa Jawa “sambat” yang berarti minta pertolongan. Pada prinsipnya sistem  sambatan adalah memobilisasi tenaga kerja luar keluarga untuk mengisi  kekurangan tenaga kerja dalam keluarga pada usahatani padi, terutama saat musim  sibuk. Sistem ini diatur melalui kebiasaan setempat, dimana petani diminta untuk  bekerja membantu pemilik lahan untuk kegiatan tertentu di sawah tanpa diberi  upah. Pemilik lahan hanya menyediakan makanan, tetapi pada gilirannya mereka harus mengganti bantuan tersebut secara proporsional pada waktu diperlukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar