Masyarakat di Desa Patemon, Kecamatan Ngadirejo adalah
masyarakat yang bermatapencaharian utama sebagai petani. Didukung dengan letak
geografis yang berada di kaki gunung Sindoro. Desa Patemon ini bisa dibilang
berada di dataran tinggi karena letaknya yang berada di kaki gunung. Setiap
panen padi tiba, masyarakat yang memiliki lahan pertanian sendiri mulai
mempersiapkan hal-hal yang bersangkutan dengan panen padi. Mulai dari alat-alat
pertanian, modal, dan tenaga kerja. Sistem pertanian di Desa Patemon sendiri
tidak melulu memfokuskan komoditas padi saja, jika mulai musim tembakau petani
mengganti tanaman disawah dengan tanaman tembakau, mereka juga menanam cabe,
terong, dan sayur-mayur.
Koentjaraningrat mengatakan dalam suatu masyarakat desa
menjadi persekutuan hidup dan kesatuan sosial didasarkan pada prinsip hubungan
kekerabatan (genealogs) dan hubungan tempat tinggal dekat (teritoria). Begitu
juga dengan pola hubungan antara buruh tani dengan pemilik lahan, buruh tani akan diundang untuk melakukan proses
produksi pertanian padi sawah yang rumahnya berdekatan maupun masih memiliki
hubungan kekerabatan. Pemilik lahan biasanya
mendatangi kepala kelompok dan selanjutya kepala kelompok akan memberitahukan kepada buruh tani yang lain
yang masih dalam satu kelompok.
Pertanian adalah kegiatan memproduksi tanaman baik padi,
palawija maupun tanaman lainnya di sebidang tanah/sawah yang
memerlukan faktor produksi dalam proses penyelesaiannya. Faktor produksi Diantaranya
adalah tenaga kerja, modal dan bahan baku
3.Tahapan Proses Produksi Pertanian Padi Sawah
a.
Pengolahan
Tanah
Pengolahan tanah dalam usahatani padi sawah pada umumnya
dilakukan oleh tenaga kerja pria. Dalam pengolahan tanah tenaga kerja pria
banyak digunakan, karena pada kegiatan pengolahan tanah ini diperlukan tenaga
yang cukup besar sehingga kegiatan pengolahan tanah ini lebih didominasi oleh
tenaga pria. Pengolahan tanah pada umumnya menggunakan peralatan pertanian
bertenaga mesin yang disebut bajak tetapi masih ada yang menggunakan kerbau
maupun sapi.
b.
Penyemaian
Penyemaian bibit adalah salah satu kegiatan dalam
usahatani padi sawah yang meliputi kegiatan pembuatan tempat penyemaian, penyebaran
bibit dan pencabutan bibit dari persemaian. Penggunaan tenaga wanita untuk
kegiatan penyemaian biasa dilakukan karena pada kegiatan penyemaian ini
memerlukan ketelitian
c.
Penanaman
dilakukan oleh tenaga kerja perempuan, karena dalam
proses penanaman memerlukan ketelatenan dan kesabaran.
d.
Penyiangan
Penyiangan adalah kegiatan yang dilakukan untuk membuang
atau memisahkan tanaman pengganggu dari tanaman padi sawah. Tenaga kerja wanita
lebih besar digunakan dalam kegiatan penyiangan karena pada kegiatan penyiangan
memerlukan ketekunan dan ketelitian sehingga kebiasaan masyarakat pada umumnya menggunakan
tenaga kerja wanita
e.
Pemanenan
Pemanenan adalah kegiatan pengambilan hasil usaha tani
padi sawah. Kegiatan ini diawali dengan pemotongan batang padi dengan menggunakan
sabit setelah batang padi dipisahkan maka kegiatan berikutnya adalah perontokan
dari tangkainya.Pada kegiatan panen laki-laki dan perempuan berpartisipasi
dalam hal ini.
Memanen dilakukan dengan menggunakan ani-ani (semacam
sabit tetapi bergerigi). Memanen memerlukan dua tahapan, yang pertama memotong
tanaman yang kemudian dikumpulkan dalam satu tempat kemudian yang kedua adalah
memisahkan bulir padi dari tangkainya yang disebut dengan nggeblok. Nggeblok adalah
memukul tanaman berulang kali sampai bulir padi terpisah dari tangkainya dengan
menggunakan alat yang disebut jagrak. Jagrak
terbuat dari papan dan bambu yang disusun menggunakan paku dan memiliki bentuk
seperti huruf A.
Sistem Bawon
“Bawon” merupakan
upah natura yang diberikan pemilik lahan kepada buruh tani, khususnya untuk
kegiatan panen yang merupakan bagian tertentu dari hasil panen. Pada sistem
bawon tradisional, panen padi merupakan aktivitas komunitas yang dapat diikuti
oleh semua atau kebanyakan anggota komunitas dan menerima bagian tertentu dari
hasil panen. Tradisi di beberapa tempat petani tidak dapat membatasi jumlah
orang yang ikut memanen. Sistem tersebut merupakan bawon yang “benar-benar terbuka”
dalam arti setiap orang diizinkan ikut memanen. Sistem “bawon terbuka” pada
perkembangannya kemudian menjadi sistem panen yang hanya terbuka untuk orang
satu desa yang sama. Sistem bawon yang lebih ketat adalah sistem bawon dengan
peserta tertentu (yang diundang saja).
Sistem “Bawon”
ini dilakukan di Desa Patemon sudah sejak jaman dahulu hingga menjadi tradisi
atau budaya masyarakat setempat. Masyarakat menerapkan sistem “bawon” hanya ketika musim padi tiba.
Seluruh masyarakat desa akan disibukkan dengan kegiatan pertanian ketika menjelang
hingga setelah panen selesai. Sistem “bawon”
ini terjadi antara pemilik lahan dan buruh tani yang bekerja mengolah lahan
pertanian ketika musim padi tiba. Tidak diketahui asal-usul atau latar belakang
dari penamaan atau istilah “bawon” dalam
menyebut sistem resiprositas disini. Masyarakat setempat menirukan orang-orang
terdahulu yang sudah terbiasa menggunakan istilah “bawon” dalam kegiatan pertanian di Desa Patemon.
Masyarakat yang tidak memiliki lahan pertanian sendiri,
biasanya bekerja sebagai buruh tani dengan mengolah lahan pertanian milik orang
lain. Mulai dari proses “nandur” hingga
panen, menjadi pekerjaan buruh padi. Dalam kegiatan bertani di Desa Patemon
ini, para buruh tidak mendapatkan upah atau “bayaran” berupa uang dari pemilik lahan, namun berupa hasil panen
yang dipanen oleh buruh tadi. Inilah yang disebut sistem “Bawon” di Desa Patemon. Upah derep yang berujud “bawon” gabah ataupun bawon padi tersebut
dihitung berdasarkan perbandingan hasil petikan padinya. Biasanya adalah satu
berbanding enam sampai delapan). Artinya hail padi yang dipetik ditakar dulu,
misalnya menggunakan baskom menakarnya, maka ketika hitungan sebanyak enam
(ataupun delapan) baskom, maka yang memetik alias yang derep akan memperoleh
jatah sebanyak satu baskom. Kebijakan enam ataupun delapan itu juga didasarkan
pada jauh dekatnya yang memetik. Apabila yang memetik padi dahulunya juga
diminta bantuan saat menanamnya, besar kemungkinan akan memperoleh porsi lebih
bagus, yaitu enam berbanding satu, bukan delapan berbanding satu. Cara ini
banya dipakai oleh para petani penggarap, yaitu petani yang hanya buruh dan
harus setor hasil panen kepada sang pemilik sawah.
Namun kini di Desa Patemon ketentuan takaran disama
ratakan menjadi 1:8. Satuan dari penghitungan hasil panen ini menggunakan
piring plastik yang biasa digunakan untuk mengukur seberapa banyak panen ”gabah” yang didapat oleh buruh.
Misalnya, seorang buruh dapat memperoleh 1 karung “gabah”, maka si pemilik lahan akan menghitung berapa banyak “gabah” yang akan didapat oleh seorang
buruh dengan menakar “gabah” tadi
menggunakan piring plastik. Setiap delapan piring “gabah” yang dipindahkan ke karung pemilik lahan, buruh akan
mendapatkan satu piring “gabah” untuk
dirinya sebagai upah dari pekerjaannya memanen. Namun dalam ada beberapa syarat yang memang harus dipenuhi
untuk melakukan sistem “Bawon” ini. Ukuran jumlah pembagian
takaran tersebut disepakati sesuai dengan banyak-sedikitnya perolehan yang
didapat oleh buruh tani ketika ikut memanen. Apabila jumlah padi yang dipetik
banyak, dia pun mendapatkan bagian yang banyak, dan begitu pula sebaliknya. Saat panenlah, banyak petani lain,
termasuk mereka yang cuma buruh tani, ikut merasakan rejeki melalui sistem bawon
(perhitungan hasil panenan antara pemilik dengan pemetik).
Petani yang butuh gabah tinggal ngarit padi
yang tua, mengumpulkan batang-batang padi aritan dalam tumpukan
sendiri-sendiri dan menggebuknya. Bila hasil aritan yang sudah digebuk
diserahkan dalam bentuk gabah ke pemilik sawah, mereka akan mendapat bawon
sebesar seperdelapan hasil gebukan. Dan kebersamaan serta perhitungan seperti
inilah yang para petani takutkan akan hilang bila sistem gebuk diganti dengan
menggunakan mesin perontok. Seseorang yang bisa melakukan sistem “Bawon” adalah seorang buruh yang ikut menanam atau “tandur”, dan ikut memanen atau “derep” yang dalam pekerjaannya meliputi
memotong tanaman padi atau “mbabati”
dan memisahkan butir padi dari tangkainya atau “nggebuk pari”.
Sistem “Bawon”
ini memang tidak dapat diandalkan sebagai pekerjaan yang dapat menghasilkan
uang guna memenuhi kebutuhan rumah tangga. Namun sistem “Bawon” dapat menjadi salah satu strategi pemenuhan kebutuhan pangan
bagi keluarga, “gabah” yang diperoleh
buruh dari hasil memanen lahan padi milik juragan bisa “diselep” atau giling menjadi beras, beras itulah yang nantinya
menjadi makanan pokok sehari-hari keluarga buruh tadi. Ketika musim padi tiba,
buruh tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli beras, karena “gabah” yang dipanen buruh tadi sudah
cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga hingga musim panen selesai. Meski
sistem “Bawon” memiliki kelemahan
yaitu tidak menghasilkan uang, padahal uang inilah yang menjadi pemicu
seseorang bekerja, namun dalam sistem “Bawon”
menciptakan nilai sosial dalam masyarakat.
Dengan perhitungan ini maka konsep bagi-bagi rejeki
dalam sebuah panen tidak hilang. Sebaliknya petani yang mbawon kini
justru lebih ringan karena mereka hanya ngarit sementara tugas gebuk
gabah diganti dengan merontokkannya menggunakan mesin.
Dalam sistem “Bawon”
dikenal juga sistem sambatan. Sistem
sambatan diartikan sebagai sistem saling membantu bekerja secara bergiliran
atau sistem hubungan pertukaran tenaga kerja . Istilah sambatan berasal dari bahasa Jawa “sambat” yang berarti minta
pertolongan. Pada prinsipnya sistem sambatan
adalah memobilisasi tenaga kerja luar keluarga untuk mengisi kekurangan tenaga kerja dalam keluarga pada
usahatani padi, terutama saat musim sibuk.
Sistem ini diatur melalui kebiasaan setempat, dimana petani diminta untuk bekerja membantu pemilik lahan untuk kegiatan
tertentu di sawah tanpa diberi upah.
Pemilik lahan hanya menyediakan makanan, tetapi pada gilirannya mereka harus
mengganti bantuan tersebut secara proporsional pada waktu diperlukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar