Jumat, 19 Desember 2014
Cara mengembalikan dokumen pekerjaan yang hilang di word 2013
tugas mu hilang? laporan penelitian/observasi yang barusan dikerjain hilang tiba-tiba? belum disimpan? ini nih cara nyarinya
Mengedit dokumen PDF menggunakan Ms. Word 2013
versi PDF bisa diubah ke Microsoft Word?? bissa dongg.. biasanya kan ada tuh tulisan di PDF yang nggak bisa di-copy paste, biasanya sih yang ada tulisannya (secured) atau dikunci atau "read only". Apalagi kalau PDF itu kan ngga bisa diedit, ini nih caranya buat ngedit versi PDF melalui Ms. Word 2013, Cekidooot
Langkah mudah membuat Blog
gampang banget kalo kita mau bikin blog, sebenernya cari di internet juga banyak banget. tinggal ketik "cara membuat Blog" pasti bakal banyak banget yang nongol. Nhah ini gue bantu nge-share. hehehe
Senin, 15 Desember 2014
Minggu, 14 Desember 2014
KPOP : favorit atau fanatik ?
Lee Min Ho,
Kim Hyun Joong, Hyun Bin, Shin Min Ah atau Super Junior, Girls Generation, SNSD, Coba kalian menyebutkan nama-nama tenar ini pada para
penggemar K-Pop. Pasti ekspresi
heboh mereka akan keluar. Lalu coba kita
tanya tentang masing-masing karakter tersebut pada mereka. Bisa dipastikan para
penggemar K-Pop akan dengan lancar bagai air mengalir dengan derasnya menceritakan idola-idolanya itu.
Mulai dari film yang pernah dimainkan, makanan yang disukai, kekasih, tanggal kelahirannya, warna favoritnya, hingga hal-hal yang
menyangkut kehidupan pribadi lainnya. Hal-hal
berbau K-Pop yang sedang marak di tanah air memang membuat sebagian remaja
terbius oleh pesona para aktor maupun musisinya. Bahkan sedikit-sedikit mereka terkadang ikut menirukan aksen
berbicara, gaya pakaian, maupun bahasa artis idola mereka.
Sebagai
orang yang hanya menjadi penikmat wajah tampan dan cantik
artis-artis Korea, tentunya saya tetap memiliki apresiasi sendiri bagi
teman-teman yang sampai tergila-gila dengan everything
about Korea. Contoh yang paling dekat saja, teman kos
saya yang bernama yuyun (nama samaran). Ia mahasiswa UNNES jurusan Akuntansi semester 6. Awalnya
dia hanya sekedar suka dengan film-film Korea dan lagu-lagu dari boyband maupun
girlbandnya. Tapi ternyata virus K-Pop terlanjur menginfeksi dirinya hingga
masuk ke pembuluh darah di otaknya. Akhirnya dia jadi makin menggilai dari hari ke
hari dengan K-Pop.
Bukan hanya itu, setiap hari dua teman kuliahnya datang ke kost, dan
saya sebagai penghuni kost sering menyebutnya “over K-Pop”. Setiap hari
mereka punya jadwal khusus menonton film Korea, belajar pun harus ditemani
musik-musik Korea, browsing sana sini untuk cari tahu hal-hal yang berbau
Korea, sampai-sampai mereka pun punya resolusi untuk pergi melancong ke Korea
suatu hari nanti. Lebih parahnya adalah mereka bertiga ini tercatat sebagai mahasiswa Akuntansi. Namun, yang saya lihat ketika Nurul dan dua
temannya berada di kost, yang mereka kerjakan hanyalah mendengarkan musik,
berjoged, dan menyanyi menirukan gaya penyanyi aslinya sambil melihat video di
laptop. Seperti kesibukan rutin yang harus mereka lakukan setiap hariya selepas
kuliah.
Saking
gilanya mereka pada K-Pop, bahasa Korea pun ikut mereka lahap untuk dipelajari.
Mulai dari belajar otodidak melalui teks-teks di film, Apalagi di dinding kamar
kostnya rasanya hampir tak muat karena begitu banyaknya tempelan tulisan
berbahasa Korea. Secara tak langsung K-Pop membuat mereka ingin tahu, ingin
belajar, dan ingin menguasai bahasa Korea.
Teriak-teriak sendiri saat melihat foto terbaru
artis k-pop, orang yang terkena virus k-pop sering sekali histeris ketika melihat foto-foto
terbaru artis kpop apalagi biasanya tidak hanya itu, mereka juga sering
menjadikannya picprofil.
Mendengarkan lagu-lagu kpop sebelum tidur selain melihat poster sebelum tidur, mendengarkan
lagu-lagu kpop sebelum tidurpun menjadi ritual yang wajib dilaksanakan. Menjadikan foto idola k-pop di desktop background. Yang dimaksudkan budaya korea disini bukanlah budaya tradisional
dari korea akan tetapi lebih mengacu kepada Kpop atau Hallyu yang sedang
hangat-hangat nya menjadi bahan pembicaraan khususnya di kalangan remaja di
Indonesia.
Efek ini
tentunya cukup bagus karena mereka tak hanya menjadi penikmat pasif seperti
saya, tetapi juga mau aktif memahami dan mempelajari bahasa Korea. Salut buat
mereka para penggemar K-Pop yang tak hanya bisa berteriak-teriak histeris saat
melihat idolanya tetapi juga mau menyempatkan diri untuk belajar bahasa Korea
dan budaya Korea. Sudah bukan jamannya memang untuk sekedar jadi penikmat
pasif. Demam artis maupun film atau musik apapun, sebaiknya kita juga harus
jadi penggemar yang cerdas. Tak hanya asal menyerap, tapi juga menyaring
ilmunya. Apalagi saat ini untuk mempelajari bahasa asing seperti Korea juga
banyak aksesnya.
Field Note Sederhana
Senin, 31 Maret 2014
Siang
hari yang cukup panas, sekitar jam 10.00 dengan membawa tas jinjing yang cukup
besar dan menggendong tas ransel, saya berangkat ke kampus untuk berkumpul
dengan rombongan yang akan melakukan kajian lapangan masyarakat dan kebudayaan
pada suku Tengger di Bromo, Jawa Timur. Di tempat parkir C7 semua rombongan
berkumpul, kami dikumpulkan sesuai kelompok observasi nantinya. Sebelum kami
berangkat dibagikan label yang berisi nama kami untuk digantungkan pada tas
yang akan ditaruh pada bagasi. Sebenarnya jadwal keberangkatan kami pukul
12.00, tetapi kami butuh persiapan dan pembekalan untuk mematangkan kepergian
kami ke luar provinsi agar tidak ada yang tertinggal. Pukul 12.00 bus yang akan
mengantarkan kami ke Bromo akhirnya datang, kami pun bersiap-siap memasukkan
barang bawaan kami ke dalam bus. Setelah persiapan selesai, kamipun berangkat
pukul 13.00 dari kampus UNNES menuju Bromo.
Selasa, 1 April 2014
Perjalanan
panjang yang memakan waktu 12-13 jam di perjalanan, akhirnya kami sampai di
pemberhentian pertama pukul 02.00, yaitu di terminal Sukapura. Disinilah kami
harus berpindah kendaraan, menggunakan mobil jeep agar dapat sampai ke
pananjakan 1 yang menjadi tujuan pertama saat kami tiba di Bromo untuk melihat
sunrise. Sekitar satu jam perjalanan untuk sampai ke pananjakan 1. Kata pak
Handoyo, sopir jeep yang mengantarkan saya dan teman-teman, suhu di pananjakan
waktu itu mencapai 8 derajat celcius, sehingga saya harus memakai atribut
lengkap untuk menghangatkan tubuh, jaket tebal, kaos tangan, tutup kepala,
bahkan saya sampai menyewa jaket gunung karena tidak tahan dengan dinginnya
udara disana, mengingat kondisi tubuh saya yang waktu itu sedang sakit flu. Pak
Handoyo adalah penduduk asli Tengger, seorang petani kentang yang juga bekerja
dengan menggunakan mobil jeepnya untuk mengantarkan wisatawan. Sambil menikmati
perjalan yang waktu itu masih gelap dan semilir dinginnya angin menyusup dari
sela-sela jendela mobil, saya dan kelima teman saya mengobrol dengan Pak
Handoyo. Beliau sangat welcome, baik,
dan humoris. Sedikit banyak saya memperoleh informasi mengenai masyarakat
Tengger dari Pak Handoyo tentang perekonomian disana, sesuai dengan topic yang
saya dapatkan dalam observasi. Pada masyarakat Tengger sendiri, mereka bekerja
sebagai petani, menggarap lahan pertanian yang ditanami kentang, kubis, cabai, ada juga jamur, dan
itu menjadi komoditas unggulan di Tengger itu sendiri. Selain bertani,
masyarakat Tengger yang mempunyai mobil Jeep memanfaatkannya untuk memperoleh
pendapatan, dengan menggunakan mobil jeep untuk mengantar wisatawan berwisata
di Bromo. Para sopir jeep ini tergabung dalam paguyuban jeep club, yang di
Bromo sendiri terdapat tiga paguyuban. Pak Handoyo bergabung dengan paguyuban
Sumber Makmur bersama 24 mobil jeep lainnya yang mengantarkan romobongan kami.
Selain itu, masyarakat yang mempunyai kuda, menggunakan kudanya untuk disewakan
kepada wisatawan di lautan pasir, sebagai pekerjaan sampingan ketika mereka
tidak pergi bertani. Pendapatan yang dihasilkan dari pekerjaan keduanya bisa
dikatakan besar, wisatawan harus membayar sekitar Rp. 400.000,00 untuk dapat
diantarkan menggunakan mobil jeep yang berisi 6 orang penumpang. Sedangkan
penyewaan kuda, mencapai Rp. 250.000,00 untuk wisatawan asing dan Rp.
150.000,00 untuk wisatawan domestik, pastinya masih ada tawar menawar antara
penyedia jasa dan pengguna jasa tersebut. Setelah berbincang-bincang cukup
lama, sampailah kami di pananjakan 1. Pananjakan ini adalah sebuah gardu
pandang tertinggi dibandingkan dengan 2 gardu pandang lainnya dimana kami dapat
melihat pemandangan dan matahari terbit dari atas sana, dari sini kami juga
dapat melihat kawah Bromo.
Sekitar
pukul 05.30 saya beserta rombongan turun menuju lautan pasir yang berdekatan
dengan kawah Bromo, dalam perjalanan saya dan kelima teman saya berhenti
ditengah jalan, dan pak Handoyo memetikkan bunga edelweiss yang tumbuh di
tebing-tebing untuk kami. Setelah itu, kami menuju lautan pasir. Disana cukup
ramai, berjejer puluhan mobil jeep dan kuda-kuda yang siap mengantarkan kami
sampai dibawah tangga naik ke kawah Bromo. Saya dan teman-teman memilih untuk
berjalan kaki sembari menikmati sejuknya udara dan berfoto ria dengan background pemandangan yang cantik,
lautan pasir yang berada di daerah tinggi dikelilingi bukit-bukit tinggi. Tapi
untuk kembali ke lautan pasir setelah naik melihat kawah Bromo, saya dan kelima
teman saya memutuskan untuk menunggangi kuda karena kami sudah merasa kelelahan
untuk berjalan jauh. Awalnya para penyewa kua menawarkan harga Rp. 75.000,00
untuk mengantarkan kami kembali ke pangkalan jeep-jeep, namun setelah ditawar,
akhirnya dengan mengeluarkan uang Rp. 25.000,00 kami bisa menunggangi kuda
tanpa kelelahan berjalan kaki sampai ke mobil jeep milik pak Handoyo. Pak
Sutikno, pemilik kuda yang saya tunggangi, menuntun kuda yang saya perkirakan
satu kilometer jauhnya sampai ke pangkalan jeep, melakukan pekerjaannya setiap
hari sampai jam 10.00, penumpang yang didapatpun tak seberapa, hanya 1 atau 2
orang, jika sedang ramai mencapai 8 orang. Sebelum turun dari kuda, saya
sempatkan untuk mengambil gambar sebagai kenang-kenangan. Di lautan pasir ini
saya dan kelima teman saya diperkenalkan dengan keponakan pak Handoyo yang juga
sebagai sopir jeep, namanya mas Agung. Dia beberapa tahun lebih tua dari kami,
namun dia tidak melanjutkan pendidikan dan memilih membantu pekerjaan orang tuanya.
Tidak terlalu lama, saya dan kelima teman saya masuk ke dalam jeep dan
melanjutkan perjalanan ke desa Ngadas yang menjadi lokasi observasi kami juga
tempat menginap malam itu. Pak Handoyo yang sangat baik, mengajak kami ke
tempat wisata disebelah lautan pasir, yaitu di pasir berbisik. Padahal
teman-teman rombongan saya tidak ada yang pergi kesana, karena memang tidak
diagendakan. Tetapi kebaikan pak Handoyo yang ingin membuat kami bahagia
berwisata ke Bromo, kami menyempatkan ke pasir berbisik sebentar sekedar untuk
berfoto-foto, setelah itu kami menuju ke desa Ngadas.
Pukul
08.45 kami sampai di balai desa Ngadas, disinilah kami berpisah dengan pak
Handoyo dan mengucapkan banyak terimakasih atas kebaikan beliau dalam
mengantarkan kami. Setelah makan pagi, kami diminta untuk segera mencari tempat
menginap yang telah disediakan. Dalam satu rumah (homestay), saya tinggal
bersama tujuh teman saya, homestay kami berada di desa wonokerto, desa sebelah
desa Ngadas. Kami diberi waktu untuk istirahat sampai pukul 10.20 dan kegiatan
selanjutnya adalah sarasehan bersama kepala desa dan tokoh adat desa Ngadas. Di
homestay, kami manfaatkan untuk istirahat sebentar dan membersihkan diri
setelah sehari semalam kami berada di perjalanan. Aktivitas yang cukup melelahkan,
apalagi kegiatan inti kami belum terlaksana. Setelah menunggu cukup lama, pukul
11.40 akhirnya acara sarasehan dimulai dengan tokoh adat ini memakai pakaian
adat khas suku tengger tutup kepala seperti ikat kepala dan atasan warna hitam
seperti yang dipakai-pakai sebagai pemuka adat pada umumnya,dengan di
moderatori bapak Mulyono masyarakat desa setempat, disusul bapak Sumarto
sebagai kepala desa Ngadas atau pimpinan di desa Ngadas dan Bapak Sasmito
selaku dukun Pandita atau seseorang yang disucikan sekaligus yang melaksanakan
upacara-upacara adat dan kenegaraan,untuk menjadi seorang dukun jabatan yang
diperoleh tidak turun temurun melainkan melalui proses dan ritual khusus.
Upacara mulunen (untuk mengetes dukun apakah dukun mendapat wahyu sakyaradi
atau tidak), pada saat upacara kasada di tes siapa yang lancar menghafal
mantra,sedangkan pendidikan minimal SMA dengan maksud paling tidak sudah
mengetahui filsafat-filsafat tentang tengger. Ada dukun Sepuh dan Legen yaitu
sebagai asisten serta dukun Sunat yaitu proses kedewasaan,apabila ingin menjadi
dukun harus disunat terlebih dahulu oleh dukun kemudian dilanjutkan proses
medis.
Setelah
acara sarasehan selesai, sekitar pukul 13.30 kami makan siang bersama dan
melaksanakan shalat dzuhur, dilanjutkan dengan kegiatan inti yaitu observasi.
Waktu yang sering terulur membuat kegiatan observasi yang dilakukan semakin
sore, jam 15.00 saya dan teman-teman kelompok saya mulai melakukan observasi.
Sebelumnya kami dibagi menjadi 2 sub kelompok, agar data yang kami peroleh
lebih banyak. Saya dengan kedua teman saya mendapatkan dua orang informan, yang
pertama panggil saja pak Dayatna, sebenarnya nama aslinya adalah pak Slamet,
namun karena saking banyaknya nama Slamet di desa Ngadas, akhirnya penduduk
sekitar sering memanggil dengan nama pak Dayatna. Beliau berusia hampir 80
tahun, bekerja sebagai petani bawang dengan lahan kecil di dekat rumahnya.
Ketika kami menghampiri, beliau sedang menyirami tanaman bawangnya dan beliau
menghentikan pekerjaannya ketika kami mencoba mengajaknya bicara. Beliau
menceritakan pasang surutnya pendapatan yang ia peroleh, apalagi tanaman yang
ia tanam hanyalah bawang. Menurutnya, dengan menanam bawang tidak banyak biaya
yang harus dikeluarkan untuk membelikan obat dan merawat bawang-bawangnya, jadi
hasil yang diperoleh bisa ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Dengan penghasilan dari panen bawang itu sudah bisa mencukupi kebutuhan
hidupnya sehari-hari, walaupun harus menunggu hasil panen selama tiga bulan.
Terkadang pak Dayatna juga menggarap lahan milik orang lain sambil menunggu
hasil panen bawangnya. Beliau pekerja yang tekun meskipun dilihat tubuhnya
semakin lemah dan usianya yang sudah tua sebagai seorang yang bekerja di
lapangan, tetapi ia giat dan menekuni pekerjaannya sebagai petani bawang. Tak
banyak informasi yang kami dapat dari pak Dayatna, akhirnya kami melanjutkan
perjalanan di sekitar desa untuk mendapatkan informan selanjutnya. Di tengah
perjalanan kami berhenti melihat di samping kiri kami ada sebuah rumah dari
pagar kayu yang didalamnya terdapat susun-susun seperti rak tapi besar,
ternyata itu adalah ruangan budidaya jamur. Kami tertarik untuk mencari tahu
mengapa disini masyarakat juga menanam jamur, di dekat situ ada seorang ibu-ibu
paruh baya yang sedang mencuci, dan kami bertanya kepadanya siapa pemilik
budidaya jamur tersebut, katanya pak Joko dan Ibu Suwarmi. Ibu-ibu tadi
menunjukkan rumah pak Joko, dan kami mencoba untuk mengunjungi rumah beliau.
Waktu itu rumah pak Joko sedang direnovasi, dan di belakang rumah pak Joko
sedang membantu tukangnya. Ketika kami mengetuk pintu dan mengucap salam,
seorang laki-laki dari dalam rumah membukakan pintu, dialah pak Joko. Disana
kami disambut baik, meskipun kami kelihatannya mengganggu namun pak Joko
menerima kedatangan kami dengan senang hati, itulah yang terlihat dari wajah pak Joko. Kami menanyakan beberapa hal
mengenai budidaya jamur yang ia jalankan. Katanya, ia menjalankan bisnis
budidaya jamur ini sejak terjadi erupsi Bromo pada tahun 2010, karena erupsi
tersebut mengakibatkan tanah pertanian menjadi tandus dan diselimuti abu, para
petani khawatir jika hasil pertaniannya gagal akibat bencana itu. Para petani
berfikir bagaimana jalan alternatifnya agar mereka dapat memperoleh hasil dari
bercocok tanam, akhirnya mereka memiliki sebuah terobosan, tanaman yang dapat
ditanam di dalam ruangan sehingga tidak terkena abu erupsi tadi, dari situlah
para petani disana membudidayakan jamur sampai sekarang ini. Awalnya mereka
pikir dengan adanya erupsi Bromo, tanaman pertanian akan mengalami gagal panen,
tetapi ternyata tidak. Hasil panen pertanian mereka tetap baik dan hasil
budidaya jamur juga baik sehingga dapat membantu meningkatkan pendapatan
masyarakat sekitar, dalam artian erupsi Bromo tidak merusak hasil pertanian
masyarakat pada waktu itu. Tetapi dijelaskan oleh pak Joko, saat ini pemilik
budidaya jamur sudah mulai berkurang, karena hasil yang diperoleh tidak
mencukupi kebutuhan hidup. Menurut beliau, yang menjadi faktor pendapatan
budidaya jamur ini sedikit bukan karena harga jamur yang murah, tetapi hasil
dari memanen jamur ini mereka gunakan untuk membayar hutang di bank-bank.
Karena pada awalnya untuk memulai budidaya jamur masyarakat meminjam uang di
bank. Faktor lainnya adalah pengetahuan masyarakat mengenai usaha dan budidaya
jamur yang masih minim, sehingga menimbulkan rasa putus asa ketika budidaya
jamur ini mengalami kegagalan. Hanya tinggal beberapa orang saja yang masih
melanjutkan usaha budidaya jamur disana.
Malam
yang begitu dingin sampai menusuk tulang, kami berkumpul dibalai desa untuk
mempresentasikan hasil observasi “mentah” yang kami peroleh di lapangan sore
tadi. Tidak banyak yang kami sampaikan, hanya segelintir data namun sudah bisa kami
paparkan di depan bapak ibu dosen pembimbing. Teman-teman kelompok lainpun juga
begitu, karena memang data yang diminta hanyalah data yang kami dapatkan pada
observasi hari pertama ini. Diskusi berlangsung hingga pukul 24.00, mata yang
sudah mulai sayu, terlihat wajah-wajah lelah dan mengantuk, tetapi kami
berusaha untuk tetap mengikuti kegiatan diskusi ini hingga berakhir. Setelah
diskusi selesai, kami langsung kembali ke homestay
masing-masing dan beristirahat.
Rabu, 2 April 2014
(observasi hari kedua)
Pukul
05.00 saya dan teman-teman sudah bangun untuk bersiap-siap melakukan observasi
pada hari kedua, pukul 07.00 kami sudah keluar dari homestay dengan membawa semua barang bawaan kami karena kami harus check out dan memasukkan barang bawaan
kami ke mobil shuttle. Setelah itu kami sarapan pagi dilanjutkan observasi.
Kali ini kami diberi waktu sampai pukul 10.00 karena selanjutnya kami akan
melanjutkan perjalanan ke Malang untuk wisata. Pagi itu, suasana desa sangat
sepi. Masyarakat sudah banyak yang pergi ke ladang, dan yang tidak berladang
mereka berada didalam rumah, sehingga desa ini terasa kosong tak berpenghuni.
Namun dekat dari situ ada sebuah rame yang kelihatannya sedang memiliki hajat,
ramai orang-orang berdatangan. Sambil berjalan-jalan mengamati sekitar kami dan
mencari informan yang dapat kami peroleh informasinya, akhirnya saya bersama keempat
teman saya mendapatkan seorang informan, tetapi ia bukanlah penduduk asli kaki
gunung Bromo. Ia berasal dari Malang, suaminya yang merupakan penduduk asli
Tengger. Dilihat suaminya sedang sibuk memperbaiki rumah, saya dan teman-teman
berniat mewawancarai ibu tadi. Bu Yati seorang ibu rumah tangga yang mempunyai
seorang anak perempuan, tinggal bersama ibu mertua. Terkadang ia bekerja di
ladang untuk membantu suaminya, tanaman yang ditanam ialah cabai. Tidak banyak
yang kami peroleh dari Bu Yati, dalam konteks ekonomi di desa Ngadas ini
dulunya ada program yang dicanangkan oleh PKK dalam pemberdayaan wanita di desa
Ngadas, untuk mendapat penghasilan tambahan, ibu-ibu di desa Ngadas ini membuat
makanan ringan dari kentang untuk dipasarkan, seperti keripik dan makanan
kering lainnya. Namun sudah lama program ini tidak berjalan lagi, entah mengapa
masyarakat sudah tidak mau melanjutkan usaha ini padahal bisa membantu dalam
pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Jam
sudah menunjukkan pukul 09.00, kami kembali ke balai desa untuk beristirahat,
teman-teman kami sudah banyak yang kembali ke balai desa. Sebelum acara
pelepasan dan pamitan dengan kepala desa, saya dan rombongan berfoto dengan
kelompok kami masing-masing. Setelah bapak kepala desa datang, kami langsung
masuk aula balai desa dan berpamitan dengan petinggi di desa Ngadas tersebut.
Sekitar pukul 11.00 kami melanjutkan perjalanan ke Malang untuk wisata disana, dan
menginap di Hotel untuk semalam.
Langganan:
Postingan (Atom)